BKD OKU SELATAN

Jl.Raya Ranau Komplek Perkantoran Muaradua Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan 32211



Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan (OKU Selatan) adalah salah satu kabupaten di Provinsi Sumatra Selatan. Merupakan hasil pemekaran Kabupaten Ogan Komering Ulu yang diresmikan dengan UU No.37 Tahun 2003 tanggal 18 Desember 2003. Kabupaten ini diresmikan pada 16 Januari 2004 di Muaradua, ibu kota kabupaten OKU Selatan.

Pemekaran Kabupaten OKU Pemekaran Kabupaten OKU menjadi tiga kabupaten didukung oleh Surat Pernyataan Dukungan Tokoh Masyarakat dan Partai Politik Kabupaten OKU. Dan disetujui DPRD Kabupaten OKU dengan Surat Keputusan DPRD Kabupaten OKU Nomor 33 Tahun 2000 tanggal 13 Juli 2000 tentang Persetujuan Terhadap Rencana Pemekaran Wilayah Kabupaten OKU. Selanjutnya ditindaklanjuti dengan Surat Keputusan Bupati OKU Nomor 125/10.A/AK/I/2001 tentang Pembentukan Tim Penyusunan Rencana Pemekaran Wilayah Kabupaten OKU.

Pemekaran ini dikukuhkan dengan keluarnya Undang Undang Nomor 37 Tahun 2003, dan diresmikan oleh Gubernur Sumatera Selatan 16 Januari 2004 di Muaradua (Kabupaten OKU Selatan) Penjabat Bupati : Drs. H. Rusli Nawi. SDP, MSi dan 17 Januari 2004 di Martapura (Kabupaten OKU Timur).Penjabat Bupati : Drs. Amri Iskandar, MM

Tujuan Pemekaran   Mempersingkat rentang kendali (span of control) pemerintah, sehingga azas efektifitas dan efisiensi pelaksanaan bidang pemerintahan dapat terwujud.   Meningkatkan pelayanan kepada masyarakat sehingga tercapai pelayanan dalam rangka Otonomi Daerah secara nyata, luas, dinamis dan bertanggung jawab.   Meningkatkan efektifitas eksploitasi dan pendayagunaan sumber daya alam yang terkandung di daerah untuk kesejahraan masyarakat.   Mempercepat penyebaran dan pemerataan hasil-hasil pembangunan sehingga akan dapat memotivasi masyarakat untuk berpartisipasi dalam mencapai tingkat kesejahteraan masyarakat yang merata.  Memperkokoh sistem pertahanan keamanan wilayah yang merupakan bagian integral dari sistem pertahanan dan keamanan nasional.  Memperkokoh sistem pertahanan keamanan wilayah yang merupakan bagian integral dari sistem pertahanan dan keamanan nasional.

1. Kondisi Sosial Geografis Kota Palembang pada tahun 1553-1814 merupakan ibukota Kesultanan Palembang. Kemudian pada masa kolonial Belanda menjadi ibukota Residensi Palembang. Residensi Palembang ini merupakan salah satu dari tiga residensi yang terdapat di Sumatera Bagian Selatan. Luas Karesidenan Palembang kurang lebih 84.692 km2. Daerah Palembang sebagian besar dataran rendah tempat mengalirnya Sungai Musi beserta anak cabangnya. Keterikatan penduduk dengan lalu lintas di perairan Sungai Musi yang padat dengan perahu-perahu dayung dan kapal-kapal yang datang pergi, membawa kota Palembang dijuluki sebagai Venesia van Indie. Satu segi yang paling esensial yang tak dapat diragukan dalam mengulas lingkungan alam Palembang adalah ketergantungan penduduk setempat terhadap lalu lintas perairan sungai. Sungai Musi merupakan sungai terbesar di daerah ini yang membelah dua kota Palembang menjadi dua. Ciri daerah aliran sungai, bukanlah khusus untuk kota Palembang saja, melainkan untuk Sumatera Selatan umumnya. Sebutan lain untuk daerah ini adalah Batanghari Sembilan, suatu istilah "tradisional" untuk menyebut sembilan buah sungai besar yang merupakan anak Sungai Musi, yakni : Klingi, Bliti, Lakitan, Rawa, Rupit, Batang, Leko, Ogan, dan Komering. Bagian barat Palembang merupakan daerah berbukit yang memmanjang hingga kaki Bukit Barisan, khususnya yang terletak antara hulu Sungai Rawas di bagian utara dann Sungai Komering di bagian selatan dengan pusat Dataran Tinggi Gunung Dempo. Dataran tinggi ini terletak 3159 m diatas permukaan air laut, merupakan hulu dari sungai-sungai Batanghari Sembilan. Dataran Tinggi Pasemah terletak antara hulu Sungai Lintang dan Lematang lebih dekat ke kaki Gunung Dempo. Di bagian selatan terdapat Dataran Tinggi Semendo dan Dataran Tinggi Ranau, yang merupakan rangkaian Bukit Barisan yang menjorok ke timur dan berbatasan dengan Lampung di ujung selatan. Di daerah ini terletak Gunung Seminung (1964 m) dengan Danau Ranau di bagian kaki gunung yang berada pada ketinggian 500-700 m. Dataran tinggi ini merupakan hulu Sungai Ogan dan Komering yang mengalir ke dataran rendah. Berbeda dengan kawasan dataran tinggi, datran rendah mencapai luas sekitar 71.000 km2 (83 %) dari luas keseluruhan Palembang. Sebagian besar merupakan kawasan hutan basah berpaya-paya dan hampir sepanjang tahun dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Curah hujan cukup tinggi sekitar 2.500-3.600 mm. Akibatnya genangan air dalam hutan berpaya-paya mempengaruhi struktur tanah. Jenis tanahnya banyak mengandung asam, rapuh, dan berwarna kemerahan. Proporsi energi mineral cukup besar yang dapat menjadi sumber ekonomi tambang yang sangat potensial bagi Palembang. Ciri karakteristik lingkungan alam di sekkitar kawasan dataran rendah ini adalah terbentuknya kantong-kantong lahan tertentu yang secara alami terbentuk karena aliran-aliran sungai. Jenis tanahnya pematang, lebak, rawa, dan talang dengan masing-masing sifatnya mengasilkan pola pertanian khas dataran rendah aliran sungai. Pada awal abad ke-20 penduduk Palembang tercatat 684.710 jiwa. Dibandingkan denganluas tanahnya, keadaan penduduk ini menyajikan proporsi perbandinga yang sangat tidak seimbang. Pada saat yang sama penduduk Jawa dan Madura sekitar 30 juta jiwa. Perbedaan karakteristik lingkungan fisik Palembang ini lazimnya disebut daerah iliran dan uluan yang dipergunakan untuk membedakan antara kawasan dataran rendah dan kawasan dataran tinggi di sekitar aliran sungai-sungai yang bayak mendominasi daerah Karesidenan Palembang. Istilah iliran dan uluan tidak hanya membedakan kondisi geografis saja, melainkan juga menyangkut beberapa khas lainnya, seperti tercermin baik dalam sosio-ekonomi maupun kultur politiknya. Dasar pemisahan antara kedua kawasan itu pada prinsipnya berdasarkan pada tradisi adat setempat, yang dapat diartikan sebagai atura-aturan normatif yang menentukan bentuk perilaku individu dan masyarakat yang mempengaruhi cara hidup mereka selaku anggota masyarakat. Adat juga merupakan kunci mekanisme sosial yang dipelihara bersama secara turun-temurun. Kedua istilah iliran dan uluan ini jelas terlihat dalam sistem ketatanegaraan dalam zaman kesultanan , yang membedakan kawasan ini sebagai daerah Kepungutan dan Sindang. Secara etimologi daerah Kepungutan berasal dari kata pungut, mengacu kepada daerah iliran, di daerah sultan dan para pembesar kesultanan berkuasa secara langsung serta berhak menyelenggarakan bermacam jenis pungutan baik berupa pajak maupun tenaga kerja terhadap rakyatnya. Daerah Kepungutan yang berpusat di kota Palembang merupakan suatu tipe masyarakat perairan sungai dan lebih berorientasi pada perdagangan, yang mempunyai ciri-ciri khusus yang membedakannya dengan daerah uluan. Kasultanan Palembang berpusat di kota Palembang, sekaligus merupakan bandar pelabuhan sehingga tidak mengherankan jika masyarakatnya sangat heterogen. Bermacam kelompok etnik asing seperti Cina, Arab, dan Eropa turut aktif dalam kegiatan ekonomi. Hal ini juga merupakan salah satu faktor yang membedakan antara kawasan iliran dan uluan. 2. Kondisi Sosial Geografis (lanjutan) Bermacam lapisan sosial terbentuk memberikan warna khas pada daerah kesultanan. Sultan beserta para pembesar yang terdiri dari kelompok bangsawan menempati puncak piramida dalam stratifikasi sosial. Kelompok ini menggunakan regalia dan sistem gelar untuk menunjukkan derajat kebangsawanannya, seperti tumenggung, pangeran, raden, dan yang lebih rendah tingkatnya adalah mas agus. Meskipun gelar kebangsawanan ini pada mulanya diperoleh dari kelahiran, tetapi dapat juga dihadiahkan oleh sultan kepada orang-orang yang dianggap berjasa, antara lain pasirah, yaitu kepala marga, jenang atau raban, orang kepercayaan sultan yang diangkat sebagai pegawai yang bertugas memungut pajak, upeti di daerah-daerah Kepungutan. Para pedagang asing yang tinggal di kota Palembang merupakan pedagang dalam berbagai komoditi dan tingkat yang masing-masing mempunyai cara yang berbeda dalam menjalin kerjasama dengan pihak kesultanan. Mereka menempati kedudukan sebagai pedagang perantara atau biasa disebut makelar dalam jaringan perdagangan lada dan timah. Selain itu ada juga yang menjadi pedagang keliling dengan menggunakan perahu menyediakan barang-barang keperluan sehari-hari dan sebagai buruh perkebunan atau pertambangan. Berlainan dengan pedagang Cina, orang-orang Arab di Palembang merupakan pedagang kaya yang secara finansial lebih kuat daripada pedagang Cina. Kelompok ini tergolong juragan-juragan kaya yang kebanyakan menguasai perdagangan kain dan sebagai pemilik kapal. Tempat tinggal mereka juga mengelompok membentuk satu lingkungan perkampungan tersendiri sebagaimana orang-orang Eropa. Kelebihan mereka dalam memiliki pengetahuan di bidang agama dan tradisi Islam membawa keterlibatan mereka dalam birokrasi kerajaan. Kesultanan Palembang yang merupakan kerajaan Islam, menempatkan urusan agama sebagai bagian yang penting dalam birokrasi kerajaan. Biasanya posisi ini diserahkan kepada orang Arab. Orang Eropa pada umumnya menduduki posisi dalam pemerintahan dan militer, pedagang, pengusaha perkebunan besar, dan pelaksana dalam industri pertambangan. Masih berkaitan dengan daerah iliran, rakyat yang menempati disebut dengan matagawe, yaitu rakyat yang diakui hak dan kewajibannya mendapat perlindungan dari sultan. Sebaliknya sultan juga berhak meminta gawe (tenaga kerja) dari rakyat apabila dibutuhkan untuk suatu kepentingan sultan. Apabila matagawe merupakan sebutan rakyat yang tinggal di daerah Kepungutan bagian pedalaman, maka istilah miji adalah sebutan bagi rakyat kebanyakan yang tinggal di daerah kota Palembang. Kelompok Miji memiliki kedudukan sedikit berbeda dibandingkan dengan matagawe. Mereka umumnya hidup dalam persekutuan-persekutuan di bawah penguasaan bangsawan tertentu. Di daerah Kepungutan dikenal pasirah, yaitu pemimpin marga-marga yang tersebar di daerah pedalaman, yang kekuasaannya mewakili kepentingan penguasa pusat di tingkat lokal. Ciri yang paling menyolok dalam perkmbangan daerah Kepungutan prakolonial adalah bahwa kekuatan pengawasan politik, pratik perdagangan monopoli dan hubungan sosial terpusat di tangan sultan dan para pembesarnya. Hubungan ini bersifat sentralistis. Hal ini juga berbeda dengan kecenderungan yang berlaku di daerah Sindang. Daerah Sindang artinya daerah perbatasan, yaitu daerah uluan yang secara politik lebih bersifat otonom karena kesultanan tidak memiliki otoritas untuk memaksakan hak-haknya sebagaimana yang berlaku di daerah Kepungutan. Kelompok suku di daerah Sindang ini dianggap sebagai kawan seperjuangan yang mendapat perlindungan dari sultan berkat jasa mereka membendung serangan dari Banten (1596). Akan tetapi kelompok ini masih menunjukkan adanya hubungan pengakuan kekuasaan sultan, dilihat dari perilakumereka yang secara periodik menyerahkan hadiah sebagai persembahan upeti kepada sultan. Sekalipun demikian kedudukan kelompok ini bukanlah dalam pengertian matagawe seperti halnya yang berlaku atas rakyat Kepungutan. Penduduk daerah dataran tinggi Sindang adalah kelompok masyarakat kesukuan yang berdiri sendiri secara ekonomi maupun politik. Kelompok suku-suku itu seperti Pasemah, Rejang, Ampat Lawang, Kikim, dan Kisam. Orang Pasemah dan Rejang misalnya, tidak pernah mengakui dan tunduk kepada kekuasaan Sultan Palembang. Mereka memiliki undang-undang sendiri yang disebut Undang-Undang Sindang Merdeka. Masyarakat kesukuan di daerah Sindang itu hanya tunduk kepada kepala sukunya sendiri, di bawah suatu Dewan Jurai Tua yang dikepalai oleh seorang depati. Depati yaitu kepala-kepala sumbai di daerah Sindang dan bukan merupakan bawahan dari sultan. Basis kekuasaan depati dalam lingkungan sumbai terletak pada pertalian kekerabatan dalam satu keluarga tertentu yang dukaitkan dengan genealogis nenek moyang pertama. Dari sudut ekonomi, masyarakat di dataran tinggi Sindang merupakan petani murni, penggarap tanah pertaniannya terutama untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Penduduk pribumi dapat dibedakan antara orang kaya, biasa, dan budak. Orang kaya terdiri dari para elit politik, pemimpin kampung, pedagang besar dan beberapa petani kaya. Setelah masuknya Islam, banyak penduduk yang pergi haji dan mereka kemudian disebut haji. Haji bukanlah simbol status ekonomi melainkan berkaitan dengan keagamaan, meskipun demikian kebanyakan orang yang dapat pergi hajio adalah orang kaya. Mayoritas penduduk adalah merupakan orang biasa yang bekerja sebagai petani. Kemudian masih terdapat kelompok budak, yang dapat dibedakan antara abdi dan orang mengiring. Budak abdi adalah budak yang dihasilkan dari suatu peperangan. Sedangkan orang mengiring adalah perbudakan yang disebabkan karena orang itu mempunyai hutang pada majikan dan dapat dibebaskan kembali setelah hutang dilunasi.

Letak Geografis Kabupaten OKU Selatan

Ibukota : Muaradua Luas : 5.849 Km2 Penduduk : 281.685 jiwa Kecamatan : 10 Kecamatan
1. Kec. Muaradua
2. Kec. Simpang
3. Kec. Buay Pemaca
4. Kec. Buay Runjung
5. Kec. Muaradua Kisam
6. Kec. Kisam Tinggi
7. Kec. Buay sandang Aji
8. Kec. Pulau Beringin
9. Kec. Mekakau Ilir
10. Kec. Banding Agung

Perbatasan : Utara : Kabupaten OKU Prop. Sumsel Selatan : Propinsi Lampung Timur : Kabupaten OKU Timur Prop. Sumsel dan Propinsi Lampung Barat : Kabupaten Muara Enim Prop. Sumsel dan Propinsi Bengkulu

DASAR HUKUM PEMISAHAN DIRI OKU SELATAN DARI OKU INDUK

Latar Belakang Dikeluarkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 sebagaimana telah diganti dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah membawa perubahan besar dalam sistem politik dan pemerintahan di Indonesia. Salah satu perubahan yang paling mendasar yang dibawa undang-undang tersebut adalah pemberian otonomi yang luas kepada daerah di Indonesia. Hal ini yang mendorong daerah untuk mengembangkan diri menjadi daerah otonom yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Salah satu daerah yang mengikuti trend dan berhasil mengembangkan diri menjadi daerah otonom (kabupaten) adalah Ogan Komering Ulu Selatan. Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan sebelumnya adalah termasuk dalam wilayah Kabupaten Ogan Komering Ulu. Proses dan setelah terbentuknya daerah otonom yang dimaksud dalam Undang-undang Pemerintahan Daerah tentu saja membawa peubahan besar dalam sistem pemerintahan dan perpolitikan daerah disamping meninggalkan sejarah tersendiri. Perubahan sistem tersebut juga menimbulkan permasalahan baru dalam pelaksanaannya. Tulisan ini mencoba menelaah dan menganalisa perubahan sistem pemerintahan dan perkembangan politik di Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan sebelum dan sesudah terbentuknya kabupaten itu sendiri serta permalahan-permasalahan yang menjadi kendala pelaksanaannya. Hal ini dianggap penting karena perubahan-perubahan tersebut membawa perubahan besar dalam kehidupan sosial masyarakat.

Sejarah Singkat Kesultanan Palembang dapat diduduki Belanda sejak tahun 1821 dengan diasingkannya Sultan Mahmud Badaruddin ke Batavia yang kemudian dipindahkan dan meninggal di Ternate pada tahun 1852. Setelah itu, di Palembang dan sekitarnya diperkenalkan suatui bentuk pemerintahan sementara (Dadelijke Regeering) yaitu suatu bentuk pemerintahan dimana pada setiap daerah yang sudah dikuasai Belanda dipegang langsung oleh komandan pasukan Belanda di daerah pendudukan setempat. Mereka berusaha bekerja sama dengan penguasa pribumi stempat. Pada tahun 1852, Palembang dibagi menjadi daerah-daerah administrative yang lebih kecil sebagai konsekwensi dihapusnya system pemerintahan kesultanan. Daerah-daerah administrative tersebut, yang selanjutnya disebut Afdeeling, yaitu Ibukota Palembang, Tebing Tinggi, Ogan Komering Ulu, Rawas, dan Jambi. Periode selanjutnya, tahun 1875-1907, merupakan prakondisi yang diperlukan bagi kepentingan politik dan ekonomi colonial di daerah Palembang dan sekitarnya. Daerah Palembang secara kesekuruhan mulai tergabung ke dalam pola umu Hindia Belanda. Bentuk-bentuk pemerintahan tradisional mulai disisihkan dan digantikan dengan system baru. Pada tahun 1875, dicoba untuk menghapuskan system marga yang ada di daerah Palembang dan sekitarnya dan diganti dengan unit administrative yang lebih kecil di tingkat dusun. Disusul kemudian dengan dibentuknya Dewan Kepala Bumi Putera (Raad Van Inlandsche Hoofden) yang dipilih oleh rakyat dusun setempat. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi kekuasaan pesirah, sehingga Belanda dapat berhubungan langsung dengan Dewan-dewan tersebut unbtuk mencapai tujuannya. Sampai tahun 1870-an, kekuasaaan Belanda sebenarnya baru efektif di Ibukota Palembang dan sekitarnya. Sementara itu, di daerah pedalaman Belanda hanya mampu menempatkan pos-pos penjagaan yang dipegang oleh satu atau dua komandan militer. Sebagian besaar daerah pedalaman masih tetap berada di bawah pengaruh pemerintahan local (pseirah). Oleh karena itu, percobaan belanda menghapuskan system marga gagal dan system marga ini dihidupka kembali 1884. Kekuasaam pesirah direhabilitasi dan mulai mereka dibawa dalam tatanan administrasi colonial. Pesirah, tetap mempunyai kekuasaan secara adapt dan mempunyai wewenangh dalam pengawasan kepemilikan tanah dan dan sumber daya dusun di wilayahnya. Mereka mempunyai kekuasaan untuk menentukan kebijakan-kebijakan di daerahnya masing-masing. Kemudian pada tahun 1902, diperkenalkan system kas marga (marga Kassen). Pemerintah mengakui secara resmi suber pemsukan pesirah yang lama (adad inkomsten) disamping mengatur pemasukan berbagai pajak melalui perijinan (surat menyurat) atas berbagaiu kegiatan. Pesirah dan perangkat dusun yang terdiri dari Kri0, Pembarap, Pesuruh digaji oleh pemerintah dan gaji mereka diambil dari kas marga. Posisi pesirah bukan hanya kepala rakyat tradisional, tetapi mereka juga bertindak sebagai perantara yang melayani kepentingan pemerintah colonial di tingkat local. Akibat dari diperkenalkannya kas marga, pesirah selai harus mengurus bermacam jenis pajak yang dimasukkan ke dalam kas marga, juga harus mengurus pajak kepala. Pajak ini tidak masuk ke kas marga melainkan diteruskan ke pemerintah colonial Belanda di Palembang. Pada tahun 1912, pemerintah colonial belanda mengadakan reorganisasi dalam bidang pemerintahan. Pemerintah Belanda memperkenalkan system pemerintahan distrik. Marga-marga digabungkan dalam unit territorial distrik. Sebuah marga biasanya terdiri dari beberapa dusun, yaitu antara 2-15 dusun. Dusun adalah bagaian dari suatu marga. Pembentukan dusun baru dapat terjadi sewaktu-waktu dari unti yang lebih kecil yang disebut sosok. Sosok yaitu pemukiman yang tidak permanent dan biasanya terletak di daerah pinggiran. Kepala Dusun disebut Krio. Dalam reorganisasi tahun 1912, terdapat pemisahan antara birokrasi bumi putera (Islandsche Bestuur) dan pemerintah eropa (Bennenlansche Bestuur). Unit asministratif territorial inlandsche bestuur yang tertinggi adalah Distrik yang dikepalai oleh demang dan asisten demang sebagi pembantunya menguasai onder distrik. Onder distrik ini terdiri dari gabungan beberapa marga. Tahun-tahun pertama setelah reorganisasi masih banyak yang mengalami kekacauan, misalnya pada tahun 1914 di Palembang terdapat 24 distrik dan 63 onder distrik, tetapi masih kesulitan untuk mengisi tenaga pemerintahan yang terdidik, baru 14 diantara 24 distrik yang berfungsi. Sejarah perkembanggan kabupaten Ogan Komering Ulu selatan secara dimulai dari Perang Dunia I (1914 – 1918). Perkembangan politik pada masa itu mengharuskan pembentukan Afdeling (Kabupaten) Ogan Komering Ulu. Afdeling Ogan Komering Ulu tersebut dibentuk pada tahun 1918 yang berkedudukan di Muaradua sebagai ibukota, kemudian dipindahkan ke Baturaja pada tahun yang sama. Pemindahan Ibukota Afdeling Ogan Komering Ulu tersebut dilakukan dengan alasan bahwa perkembangan politik, ekonomi dan sosial budaya di Baturaja lebih maju daripada di Muaradua. Status Muaradua kemudian berubah menjadi Onder Afdeling yang meliputi daerah Muaradua dan Ranau. Assisten Afdeling Ogan Komering Ulu yang pertama adalah Abdul komang. Afdeling Ogan Komering Ulu ini tetap eksis dan fungsinya terjaga berjalan dengan baik sampai dengan kemerdekaan Indonesia tahun 1945. Dikeluarkannya Undang-undang Nomor 1 tahun 1945 tentang Pembentukan Komite Nasional Indonesia yang diikuti dengan Peraturan pemerintah Nomor 8 tahun 1947 tentang Pembentukan Daerah Otonom memicu tuntutan agar Afdeling Ogan Komering Ulu menjadi daerah otonom yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Perubahan sistem politik ini juga diikuti dengan perubahan Onder Afdeling yang ada di Ogan Komering Ulu. Perubahan tersebut antara lain : 1. Onder Afdeling Ogan Ulu yang berkedudukan di Lubuk Batang dipindahkan ke Baturaja. 2. Onder Afdeling Komering Ulu berkedudukan di Martapura. 3. Onder Afdeling Muaradua dan Ranau dipindahkan dari Banding Agung Ke Muaradua. Secara yuridis formal, pembentukan Kabupaten Ogan Komering Ulu diawali dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 11 Tahun 1950 tentang Pembubaran Negara Bagian Sumatera Selatan (17 Agustus 1950) dan Peraturanan Pemerintah pengganti Undang-undang Darurat Nomor 4 Tahun 1956 tentang pembentukan Daerah Otonom Kabupaten Di Lingkungan Daerah Provinsi Sumatera Selatan yang kemudain diperkuat dengan Ketetapan Gubernur Sumatera Selatan No.GB/100/1950 tanggal 20 maret 1950 tentang Penetapan Batas Daerah kabupaten Ogan Komering Ulu. Dengan adanya peraturan-peraturan tersebut maka Kabupaten Ogan Komering Ulu resmi terbentuk dengan ibukota Baturaja dan Muaradua dijadikan Kecamatan di Bawah Kabupaten Ogan Komering Ulu tersebut. Dikeluarkanhya Undang-udnang Nomor 22 tahun 1999 sebagaiman telah diganti dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengakibatakan tuntutan masyarakat yang ada di wilayah Kabupaten Ogan Komering Ulu yang selama ini dimarginalkan oleh Baturaja untuk membentuk daerah otonom (kabupaten) sendiri yang berhak mengurus rumah tangga sendiri. Aspirasi masyarakat daerah yang disalurkan melalui Panitia Persiapan Pembentukan Kabupaten OKU Selatan dan melalui berbagai demostrasi massa untuk menuntut pembentukan Kabupaten baru akhirnya membuahkan hasil dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 37 tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Baru di Provinsi Sumatera Selatan. Maka, dengan dikeluarkannya undang-undang tersebut maka secara resmi Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan terbentuk dengan ibukotanya Muaradua.

Politik dan Pemerintahan Sebelum Pemekaran Secara administratif, wilayah Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan saat ini dahulunya adalah beberapa kecamatan yang berada di bawah Kabupaten Ogan Komering Ulu yang merupakan Wilayah Kerja Pembantu Bupati III Kabupaten Ogan Komering Ulu. Baturaja sebagai Ibukota Kabupaten Ogan Komering Ulu pada saat itu merupakan sentral dari kegiatan pemerintahan dan perekonomian. Segala urusan yang berkaitan dengan pemerintahan dipusatkan di baturaja, kecamatan-kecamatan yang berada di bawahnya hanya berfungsi pelengkap dan sebagai pelaksana dari segala kebijakan pemerintah Kabupaten. Hal ini menyebabkan pertumbuhan kecamatan-kecamatan yang berada di wilayah kabupaten ogan komering ulu tertinggal dan berjalan dengan sangat lambat. Pada waktu-waktu Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan masih berada di bawah Kabupaten Ogan Komering Ulu kondisi politik dan pemerintahan hampir tidak ada perkembangan yang berarti. Sebagai daerah berstatus kecamatan, pemerintah setempat hampir tidak bisa mengeluarkan kebijakan sendiri. Kecamatan-kecamatan yang berada di bawah Kabupaten Ogan Komering Ulu pada waktu itu hanya berfungsi sebagai pelaksana kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten.

a. Perkembangan Politik dan Pemerintahan Pasca Pemekaran Perkembangan politik di Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan yang paling menarik adalah pada waktu-waktu setelah adanya pemekaran/terbentuknya Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan pada Desember 2003 lalu. Walaupun pemerintahan di Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan baru berjalan efektif pada 1 Januari 2004 lalu tapi perubahan/perkembangan politik dan pemerintahannya cukup mendewasa dibandingkan dengan pada masa-masa sebalumnya. Masyarakat Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan tampak sudah membuka mata untuk melihat dan mengambil sikap terhadap perkembangan politik di daerahnya. Memakai istilah lama, perkembangan politik yang terjadi pada masyarakat Ogan Komering Ulu Selatan diibaratkan layaknya “buta baru melek” karena dalam menyikapi suatu perubahan/perkembangan yang terjadi di daerahnya, masyrakat cenderung berlebihan. Kalau selama ini masyarakat Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan hanya peduli dan menyikapi perpolitikan nasional dalam skala warung kopi tapi sekarang kenyataanya sudah memanfaatkan media massa untuk menyampaikan sikapnya terhadap perkembangan yang terjadi di daerahnya. Secara sederhana, hal ini dapat diamati dari sikap dan kritisasi masyarakat terhadap proses pelaksanaan pemerintahan baru dan yang paling menonjol adalah respon masyarakat terhadap rencana pilkadal yang akan diadakan pada bulan Juni 2005 mendatang. Bentuk respon masyarakat terhadap perkembangan perpolitikan dan pemerintahan Ogan Komering Ulu Selatan sedikit banyak memberikan gambaran tentang proses berjalannya pembelajaran politik bagi masyarakat daerah sebagaimana menjadi salah satu tujuan pelaksanaan otonomi daerah. Secara singkat, perubahan-perubahan system pemerintahan dan perpolitikan di Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan dijelaskan sebagai berikut : b. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Pemilihan Umum Legeslatif tahun 2004 lalu menjadikan Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan untuk pertama kalinya memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sendiri. Sebelumnya, yaitu pada waktu sebelum pemekaran, wilayah Ogan Komering Ulu Selatan termasuk dalam wilayah pemilihan Kabupaten Ogan Komering Ulu dan hanya diwakili oleh beberapa orang anggota dewan saja yang dipilih bukan langsung oleh rakyat tetapi oleh partai politik tertentu yang mempunyai suara yang cukup sehingga aspirasi masyarakat di wilayah ini kurang terakomodasi dengan baik. Anggota DPRD Ogan Komering Ulu Selatan saat ini berjumlah 30 orang yang berasal dari 4 wilayah pemilihan berbeda. Dengan adanya DPRD ini, masyarakat berharap bahwa aspirasi dan tuntutan mereka akan lebih diperhatikan oleh Pemerintah daerah. Walaupun sudah resmi terbentuk setahun yang lalu, lengkap dengan struktur organisasinya tetapi kinerja DPRD masih kurang maksimal. Selama masa kerja yang sudah satu tahun ini, DPRD belum menghasilkan suatu kebijakan yang signifikan bermanfaat bagi masyarakat dan kemajuan Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan. Hingga saat ini, DPRD Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan baru mensahkan/menyetujui enam Peraturan Daerah yang kesemuanya berkaitan dengan permasalahan intern Pemerintah Daerah dan DPRD sendiri (Struktur Organisasi dan Tata Kerja). DPRD tampak pasif dalam menyikapi kejadian-kejadian yang berkembang dalam masyarakat dan terhadap kinerja Pemerintah Daerah yang juga dinilai belum maksimal. Aktivitas politik DPRD selama ini hanya sampai pada pernyataan dukungan atau penolakan terhadap tindakan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah, belum diwujudkan dalm bentuk tindakan-tindakan nyata.

c. Lembaga Hukum dan Peradilan Perkembangan lembaga-lembaga hukum di Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan juga hingga saat ini masih belum menunjukkan adanya peningkatan yang berarti. Idealnya sebuah kabupaten yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri, Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan memiliki Lembaga Peradilan sendiri. Di Kabupaten Ogan komering Ulu Selatan, Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama masih berstatus cabang dari Pengadilan Negeri Baturaja Kabupaten Ogan Komering Ulu. Badan-badan peradilan ini harus menyelesaikan kasus-kasus dari 10 kecamatan yang berada di wilayah Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan. Hal ini tentu saja merepotkan untuk Badan Peradilan dengan status Badan Peradilan Cabang. Demikian juga dengan Rumah Tahanan Negera, di Ogan Komering Ulu Selatan hanya terdapat satu buah rumah tahanan Negara yang juga harus memberdayakan narapidana dari 10 kecamatan yang ada di Ogan Komering Ulu Selatan. Untuk Daerah yang memiliki angka kejahatan yang cukup tinggi, rumah tahanan ini terkadang mengalami over load dalam jumlah tahanan yang dibina. Hingga saat ini, belum ada tanda-tanda bahwa Pemerintah Daerah akan meningkatkan status dan jumlah lembaga-lembaga ini. Hanya saja, sebagai Kabupaten, Ogan Komering Ulu Selatan sudah memiliki Lembaga Kepolisian Resort yang hingga saat ini juga kedudukannya masih menumpang pada Kantor Kepolisian Sektor Kecamatan Muaradua.

d. Pemberdayaan/Pengawasan Terhadap Desa Pemerintah Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan secara serius memperhatikan Pemerintahan Desa. Rapat koordinasi guna membahas permasalahan desa sering dilakukan terutama mengenai permasalahan teknis penyaluran bantuan terhadap desa. Bantuan-bantuan tersebut diantaranya adalah, bantuan beras untuk rakyat miskin (raskin), bantuan dana dari gubernur dan Dana Alokasi Desa (DAD). Pemerintah Daerah Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan juga menggalakkan peran aktif badan perwakilan desa (BPD) dalam menentukan kebijakan desa di daerah masing-masing. Keseriusan Pemerintah Daerah dalam memberdayakan desa terlihat dari ketatnya pengawasan terhadap pengalokasian bantuan-bantuan seperti tersebut di atas. Pemerintah daerah tidak mentolerir segala bentuk penyimpangan dalam penggunaan dana bantuan tersebut. Hal ini terbukti dengan dikandangkannya kepala desa Rantau Panjang Kecamatan Muaradua karena terbukti melakukan penyimpangan keuangan desa. Beberapa kepala desa di Kecamatan Muaradua Kisam dan Kecamatan Pulau Beringin hingga saat ini berstatus buron karena terkait masalah yang sama. Pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah daerah terhadap pemerintahan desa melibatkan masyarakat, BPD, aparat kecamatan dan Aparat Pemerintah Kabuapaten.

e. Pilkadal Respon masyarakat Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan terhadap rencana diadakannya Pilkadal tanggal 26 Juni mendatang sangat menggembirakan. Masyarakat dari jauh hari sudah mulai menentukan sikap terhadap rencana Pilkadal dan terhadap calon kepala daerah Ogan Komering Ulu Selatan. Dukungan masyarakat terhadap salah satu calon kepala daerah dapat dikatakan sangat fanatik. Perang urat syaraf melalui media massa sudah dimulai sejak masyarakat mengetahui rencana Pilkadal tersebut. Potensi konflik horizontal di Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan sebagai akibat Pilkadal sangat besar. Hal ini sudah terbukti dengan adanya kekerasan fisik terhadap pendukung salah satu calon kepala daerah yang dilakukan oleh pendukung calon lainnya. Disamping itu juga, tindakan saling hujat di media massa oleh masing-masing pendukung calon kepala daerah sudah menjadi hal yang biasa mewarnai media massa lokal. Para calon kepala daerah dengan didukung tim suksesnya masing-masing sudah banyak yang “curi start” melakukan kampanye terselubung lewat kunjungan ke desa-desa dan melalui selebaran yang secara tidak langsung berisi ajakan untuk mendukung calon tertentu. Para calon kepala daerah juga sudah mulai memobilisasi massa pendukungnya untuk melakukan berbagai kegiatan sebagai bentuk kampanye terselubung tersebut, padahal kampanye secara resmi dijadwalkan pada bulan April 2005 mendatang.

Permasalahan Pelaksanaan Pemerintahan Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan yang baru berusia satu tahun sekarang masih dalam masa transisi dari kecamatan-kecamatan yang kurang berkembang menjadi Kabupaten yang mau tidak mau, siap tidak siap harus menjalankan pemerintahan secara otonom yang mengatur rumah tangganya sendiri. Dengan keadaan wilayah yang cukup luas dan jumlah masyarakat sekitar 500.000 jiwa secara administratif, kabupaten ini membawahi 19 kecamatan, 1 kelurahan dan 153 desa. Dengan didukung dengan potensi yang cukup menjanjikan, kabupaten ini diharapkan mampu berkembang dengan cepat dan konsisten. Sebagai kabupaten baru, Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan masih banyak kendala dan permasalahan terutama masalah keterbatasana sarana prasarana pendukung dalam pelaksanaan pelayanan publik dan pemerintahan di samping masalah kurangnya sumber daya manusia yang memiliki kemampuan untuk mengembangkan daerah Ogan Komring Ulu Selatan. Fasilitas umum di Kabupaten Ogan Komrieng Ulu Selatan, termasuk sarana perkantoran dan pelayanan umum masih sangat kurang mengakomodasi proses pemerintahan dan pelayanan publik tersebut. Setelah satu tahun pemerintahan Ogan Komrieng Ulu Selatan berjalan, pembangunan atau pembenahan sarana prasarana bias dikatakan nihil. Sejauh ini yang dilakukan pemerintah daerah hanya sebatas perencanaan tata letak pusat-pusat pelayanan dan pemerintahan. Sementara ini, pos-pos pelayanan publik dan kantor pemerintahan masih menumpang pada kantor-kantor lain yang ada di Ogan Komering Ulu Selatan bahkan ditempatkan di rumah dinas atau rumah-rumah penduduk. Hal ini sangat berbanding terbalik dengan Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur yang juga kabupaten pemekaran dari Kabupaten Ogan Komering Ulu bersama-sama dengan Ogan Komering Ulu Selatan. Pembenahan yang utama dilakukan oleh Pemerintah Daerah Ogan Komering Ulu Timur adalah pembenahan dalam hal pelayanan publik dan pemerintahan termasuk pembangunan saran prasarana pendukungnya. Kendala yang ditemui dalam perjalanan kegiatan pemerintahan di kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan yang mulai berjalan efektif Januari 2004 lalu dapat dimaklumi karena sumber pendanaan daerah selama ini masih bergantung pada pemerintah provinsi, yaitu sebesar 400 juta / triwulan karena sumber atau potensi pendanaan yang ada di kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan masih belum dieksploitasi/dikelola secara baik. Kebijakan Pemerinatah Daerah kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan selama ini juga belum bersentuhan langsung dengan masyarakat. Hal ini karena kurang berjalannya fungsi Pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Kebijakan yang seharusnya diutamakan atau secapatnya harus dikeluarkan adalah mengenai pelayanan publik atau kebijakan yang bersentuhan langsung dengan masyarakat. Hal ini demi menjamin pelaksanaan pemerintahan yang baik, karena tolak ukur keberhasilan suatu daerah adalah kepuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintahnya.